Warga

Drigo Tobing, Perspektif Fotografer Kawakan

Oleh Rio Aribowo
Pinterest LinkedIn Tumblr WhatsApp

Ini adalah potret warga Bintaro Jaya yang menjalankan hidupnya dengan memotret. Bermula dari kamera hadiah ulang tahun ke-13, Drigo Tobing memulai pengembaraan iluminasinya. Hasil foto Drigo kerap terpampang di majalah-majalah terkenal, seperti Matra, Rolling Stone Indonesia, dan majalah komunitas Kicau Bintaro.

Ayah dua putra ini juga menyukai film. Tidak heran, karena sebelum memutuskan menjadi fotografer, Drigo sempat ingin menjadi sutradara, namun panggilan kamera foto lebih terdengar nyaring dibanding teriakan “Action!” Ingin tahu lebih banyak sosok pria kelahiran Medan ini? Simak obrolan kami berikut….  

Kapan pertama kali menyenangi fotografi hingga menekuni secara professional?

Pertama kali, saya mengenal alat fotografi umur 13 tahun. Dapat hadiah ulang tahun dari ayah. Obyek apa saja, saya potret. Tidak hanya dokumentasi acara-acara keluarga. Untuk jadi profesional tidak pernah terpikirkan.

Setelah saya kuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), dulunya LPKJ Jurusan Sinematografi, saya mengenal lebih jauh apa itu fotografi. Sebenarnya saya ingin jadi sutradara. Tapi akhirnya menjadi fotografer. Saya memilih fotografer di industri pers. Pertama kali di Majalah Matra, kemudian Majalah Gatra, terus Majalah Rolling Stone Indonesia. Sebelum pension tahun 2019, balik ke Majalah Gatra sebagai editor foto.

Kenapa suka fotografi?

Banyak sebabnya. Pertama, fotografi itu hasil olahan otak kiri dan otak kanan. Fotografi itu kejujuran dalam berekspresi. Fotografi hanya satu frame, kita berusaha untuk memberi makna dengan menggunakan bahasa dan rasa estetika. Jadi tidak saja merepresentasikan realita (mimetik).

Secara singkat, bagaimana perkembangan fotografi di era 2000-an sampai sekarang?

Fotografi di era 2000-an sudah menjadi bagian “gaya hidup”. Terlebih mekanisme fotografi itu ada di ponsel. Foto menjadi “representasi identitas”. juga media “pengakuan status” di ruang medsos. Ini sebuah gejala atau fenomena yang tiba-tiba mengguncang peradaban manusia. Aku berfoto maka aku ada. Foto bagian dr eksistensi manusia di era 2000-an.

Smartphone merupakan alat yang paling pas untuk berekspresi. Bahkan fasilitas yang tersedia semakin memancing kita untuk melahirkan foto-foto artistik. Tapi secanggih apapun alat, kita harus melatih cara melihat dan merepresentasikan. Cara melihat, itu yang penting dalam fotografi.

Teknologi memang semakin canggih, tapi dalam hal gagasan atau ide sering mentah atau terasa mencari-cari. Oleh karena itu, ketika memberikan sharing, saya sering berpesan untuk rasakan dulu apa yang didapat dari pengalaman visual itu. Tidak lagi berbicara teknis. Teknis sudah selesai, karena mekanisme sudah dijawab oleh kemajuan teknologi.

Pengalaman paling berkesan selama menjadi fotografer?

Pernah motret offshore di Laut Natuna. Waktu itu, belum ada drone, jadi harus naik crane yang cukup tinggi di atas laut he he…. Sewa helicopter masih mahal waktu itu.

Apa saja kegiatan selama pandemi yang berhubungan dengan fotografi?

Kegiatan fotografi untuk profesi selama pandemi jelas sepi. Tapi saya tetap merawat rasa dengan memotret apa saja yang ada di sekitar saya. Sering ikut forum-forum fotografi melalui zooming.

Apa rahasianya bisa tetap eksis menjadi fotografer sampai saat ini?

Rahasia agar tetap eksis, ya tetap saja berkarya terus sebesar atau sekecil apapun. Latih rasa dan intuisi melalui pengalaman visual. Lihatlah sesuatu dari sudut estetika. Banyak membaca buku atau cari informasi-informasi yang bermanfaat.

Write A Comment