Ada satu tindakan yang luput terpikirkan oleh dokter dan pasien pascastroke. Meski kemungkinan merupakan pilihan terakhir, namun tindakan operasi ini dapat menjadikan hidup penderita stroke lebih baik.
Berbicara tentang stroke, penyakit yang menyerang otak ini dapat merusak bagian otak yang mengontrol sinyal saraf ke otot. Kondisi tersebut dapat menyebabkan otot menjadi kaku, kencang, dan nyeri. Walhasil, penderita tidak dapat bergerak dengan bebas.
Ketika mengalami serangan stroke, pasien biasanya ditangani oleh dokter spesialis syaraf dan ahli bedah syaraf. Pascaoperasi, dokter rehabilitasi dan tim fisioterapi siap membantu pasien memulihkan kondisi mereka yang mengalami gangguan pascastroke.
Salah satu gangguan yang terjadi disebut dengan Spastisitas, yakni kekakuan pada otot yang menghambat gerakan pasien. Otot pasien akan tetap berkontraksi dan tidak bisa relaksasi seperti layaknya individu yang normal.
Salah satu bagian tubuh yang kerap mengalami spastisitas, yaitu anggota gerak atas (lengan/tangan). Bila spastik, umumnya siku dalam posisi menekuk, sukar diluruskan, serta jari jari tangan mengepal dan sulit membuka genggaman.
Menurut dr. Margareta Arianni, Sp.OT (K-Hand) masih banyak orang, terutama penderita stroke yang tidak mengetahui, jika ada jenis tindakan operasi untuk mengatasi atau mengurangi spastisitas pada lengan atau tangan (Spastic Upper Limb Surgery).
“(Tangan) tidak kembali normal, namun setidaknya dapat meningkatkan fungsi, sehingga lebih mudah menjalani berbagai aktivitas yang sebelumnya sulit mereka lakukan,” terang Margareta.
Sebagai dokter ortopedi spesialis tangan, yang keahliannya merupakan bagian dari pemulihan pasien pascastroke, Margareta termasuk dalam jajaran dokter yang tergabung di Stroke Center RS Premier Bintaro. “Saya di urutan paling akhir dalam gejala tatalaksana stroke,” ujarnya sambil tersenyum.
Mengapa demikian? “Karena tim rehabilitasi medik yang memegang peranan paling penting dan boleh dikatakan lini pertama dalam pemulihan pascastroke. Selain itu, spastisitas juga baru timbul beberapa bulan setelah serangan stroke. Operasi tangan baru bisa dilakukan setelah satu tahun, setelah semua gejala menetap,” urai Margareta.
Perlu diketahui, tidak semua penderita stroke mengalami spastisitas. Ada pula penderita stroke yang tidak mengalami gangguan pada tangan, namun ada yang mengalami gangguan pada tangan bersifat flaccid (lumpuh lemas). Dari beberapa kondisi tersebut, yang mengalami spastisitaslah yang membutuhkan operasi.
Tatalaksana Spastisitas Tangan/Lengan Pascastroke
Margareta juga menyebutkan, terdapat beberapa tatalaksana atau penanganan terhadap spastisitas lengan atau tangan pascastroke. Tatalaksana lini pertama, yaitu fisioterapi, kemudian suntikan toksin botulinum atau publik mengenalnya dengan nama Botox (merk dagang).
Toksin Botulinum adalah racun yang dihasilkan dari bakteri Clostridium Botulinum yang dapat membuat otot lumpuh. Dengan adanya toksin ini di otot, kontraksi otot menjadi berkurang, sehingga spastisitas-pun berkurang.
Apakah aman menggunakan cara tersebut? Menurut Margareta, sejauh ini cukup aman, hanya saja biayanya cukup mahal, satu vial harganya jutaan rupiah. Selain itu perlu diulang setiap empat hingga enam bulan sekali, dan tidak ditanggung oleh JKN. Penting untuk diperhatikan, injeksi toksin botulinum berulang dapat mencetuskan timbulnya antibodi yang malah membuat toksin tersebut berkurang efektivitasnya.
Pasien yang mempertimbangkan opsi operasi harus dievaluasi dengan seksama, agar dokter dan pasien memiliki persepsi yang sama dalam memprediksi apakah operasi adalah pilihan terbaik. Pemeriksaan tidak boleh hanya dalam satu kali pertemuan dengan dokter, karena spastisitas sifatnya dinamis, artinya bisa berubah-ubah seiring waktu berjalan, dan memberat bila ada pencetus.
“Spastisitas dapat dipicu oleh stres, emosi, suara keras, suasana yang ramai dan hiruk pikuk, rasa nyeri, luka, serta kondisi medis lain,” ungkap Margareta.
Bahkan, rumah sakit yang ramai dan asing dapat menjadi pencetus spastisitas, apalagi ditambah nyeri lambung saat pasien pertama kali diperiksa, misalnya. Kondisi seperti ini tentu berbeda ketika pasien sudah berada di rumah yang tenang dan membuat dirinya nyaman.
Keadaan tersebut akan membuat spastisitas berkurang. Apa yang dia bisa kerjakan di rumah dalam keadaan relaks, belum tentu bisa diperlihatkan di depan dokter yang memeriksa. Di sinilah pentingnya bertemu pasien berkali-kali sebelum tindakan operatif.